Sejujurnya aku
ini cantik, hanya saja aku tak yakin kecantikannku dapat menarik perhatian
orang yang kusukai. Bukannya aku narsis, namun aku lebih realistis. Banyak
orang bilang aku imut, putih dan cantik, namun orang-orang yang menyebutku
seperti itu tidak pernah ada yang aku sukai, kebanyakan mereka hanya orang-orang
yang menaksirku dan aku masa bodoh kan.
Aku single. Cantik
dan single. Bukannya aku tak pernah laku dan tidak ada yang mengajakku
berkencan, namun aku terlalu pemilih. Sebenarnya bukan pemilih juga, karena
hatiku sudah tersangkut dan terpaut pada satu orang, makanya aku tak pernah mau
menerima ajakan-ajakan orang yang mengajaku berkencan.
Sebenarnya ini
adalah sebuah rahasia. Rahasia antara Tuhan dan aku. Selain itu, orang lain
bahkan teman dekatku tidak ada yang tau. Namun aku ingin menceritakannya
disini. Aku merasa mungkin perasaanku akan bertambah lega, setelah semua
rahasia ini tersibak.
Rahasia yang
tidak ada artinya, bukan rahasia sesungguhnya. Namun sebuah perasaan yang lama
yang aku pendam ntah berapa lama. Memendamnya hanya menjadi beban yang tidak
akan hilang. Lebih baik terungkapkan dengan sengaja dari pada terkubur
selamanya.
Cerita ini
berawal semasa SD. Masa dimana kalian anak-anak bermain dengan lepas dengan
seorang kawan main. Aku mengenalnya, sebut saja Raka. Kami bukan kawan main,
bukan juga kawan sekolah. Namun orang tua kami saling mengenal, satu dua kali
aku melihatnya bersama keluarganya bermain kerumahku. Dia manis, lucu dan
ramah. Pertemuan kami tidak begitu istimewa, hanya perkenalan biasa yang tak
menyibak makna.
Pertemuan ini
semakin lama semakin berurutan, hingga sampai aku menginjak bangku kuliah. Raka
tetaplah Raka. Ramah dan selalu menyimpan senyum yang menghangatkan. Sapaannya
kepadaku begitu bersahaja. Namun kami terbatas teman.
Kelas 6 SD. Aku
merasa jantung ku selalu berdebar-debar tak karuan. Aku kira aku mempunyai
penyakit jantung, hingga aku sangat takut untuk tertidur pulas karena takut
tidak akan terbangun lagi di pagi hari. Dan setelah aku sadari, penyebab nya
adalah pertemuan ku dengan Raka. Ini tidak masuk akal, kenapa hanya melihat
seseorang saja, jantung bisa kalap tak karuan. Aku mulai mencari tanda-tanda
tidak wajar ini. Disetiap buku yang aku baca di perpustakaan tidak pernah aku
temui jawaban itu. Diam-diam aku mengamati percakapan dan tingkah laku para
artis di setiap sinetron atau film dengan akting yang mereka lakukan, setiap
mereka merasa gugup ketika bertemu orang yang mereka sukai, merasa kesal hampir
mati saat orang yang mereka sukai tidak memberi kabar atau malah lebih akrab
dengan seseorang lainnya. Kesimpulan terakhir adalah aku jatuh cinta.
Aku jatuh cinta
dengan seseorang yang tahu perasaanku pun tidak. Jadi bagaimana aku bisa tahu
dia mencintaiku juga atau tidak? Aku pikir ini konyol.
Kelas 2 SMP.
Aku mulai tumbuh menjadi remaja. Mulai mempunyai banyak teman juga pergaulan.
Tak lupa juga, mulai banyak yang mengajakku berkenalan untuk selanjutkan
menjalin sebuah hubungan. Aku ingin merasakan sebuah cinta. Dicintai dan
mencintai.
Teman-teman ku
juga sudah banyak yang mulai bermain mata dengan lawan jenis. Mulai saling bertukar
pandangan, bertukar surat-suratan, hingga berujung bertukar perasaan. Rasanya
sangat menyenangkan. Aku ingin mencoba juga hal seperti itu.
Saat itu tak
sengaja di perpustakaan aku bertemu kakak kelasku, yang ternyata adalah
tetangga rumah yang tinggalnya agak jauh. Kami hanya bertukar pandang satu sama
lain, dia tersenyum dan aku ikut mengulum senyum. Hal itu selalu berulang
setiap kami berpapasan. Aku mulai berpikir, inikah awal sebuah cinta? Inikah
awal sebuah cerita yang mereka bilang sangat membahagiakan?
Pagi hari saat
aku membawa sepedaku untuk berangkat sekolah, mengayuhnya pelan dan menikmati
udara yang segar dan sehat. Aku melihat kakak kelasku sudah berada di jalan
depanku, terlihat sedang menunggu seseorang.
“Hey..”
tiba-tiba dia membarengi di sampingku
“Hey juga..”
jawabku dengan senyum polos
“Boleh kenalan?
Namaku Radit..” katanya dibarengi senyum sumringah dari wajahnya.
“Aku Dita..”
kataku sembari menatap wajahnya.
Dan itu adalah
awal dari sebuah hubungan yang terjalin diantara kami. Hubungan kami semakin
dekat dan aku sendiri tidak dapat menyebutnya sebagai apa. Dia adalah seseorang
yang pengertian dan selalu dapat menjaga perasaanku juga selalu mengajariku
hal-hal yang tidak bisa aku pelajari. Aku sangat nyaman bisa selalu berada
disampingnya. Namun perasaan yang dulu pernah aku temui saat bersama Raka, kini
tidak muncul saat aku bersama Radit. Aku nyaman, tapi jantungku tidak berdetak
begitu cepat. Aku senang saat bertemu dengannya, namun tidak merasa gugup dan
canggung. Aku marah padanya saat dia tidak ada kabar, namun tidak semarah
hingga hampir mati.
Kelas 3 SMP.
Radit sudah lulus dan mulai memasuki jenjang SMA. Dia mulai tampak dewasa dan
berpikiran panjang. Kami sudah jarang berangkat sekolah bersama lagi, selain
karena kami sudah berbeda sekolah juga karena aku jarang bersepeda lagi, tetapi
lebih memilih untuk diantar jemput. Kami janjian di sebuah taman yang tidak
jauh dari rumah kami. Dia bertambah tampan dan keren, dengan kemeja dan jeans
juga sepatu sneakers dia menghampiriku. Tersenyum dan menggandeng tanganku
menuju bangku yang kosong.
“Bagaiman
kabarmu? Lama ya kita tidak saling bertemu..”
“Kabarku baik
kak, saat ini aku harus mulai giat belajar untuk bisa lulus ujian sebentar
lagi..”
“Kamu pasti
bisa, semua pasti akan berjalan dengan baik..”
“Karena kakak,
aku selalu bisa, kakak yang mengajariku banyak hal.. tentang pelajaran dan hal
yang lainnya.. iya.. semoga semua berjalan dengan baik..”
“Dita, kakak
ingin memperjelas sesuatu..”
“Apa kak?”
“Kakak..
benar-benar tulus mencintaimu.. kakak ingin kita bisa saling terus bertemu..”
“Maksud kakak?”
“Dita, maukah
kamu menjadi pacarku? Menjadi seseorang yang selalu kakak cintai dan dapat membagi
perasaan bersama..”
“Kak...”
lidahku kelu, aku tidak dapat menjawab apa-apa, aku bingung dengan perasaanku.
Apakah aku benar-benar mencintai kak Radit? Tetapi tidak ada detak jantung yang
hebat seperti yang dikatakan banyak orang.
“Kak.. aku
bingung..”
“Dita.. kakak
tidak akan memaksa, tanyalah hatimu dan dengarkanlah bisikan hatimu yang
terdalam...” waktu terasa sangat lama sekali. Satu jam kami hanya terdiam
dengan perasaan dan pikiran masing-masing hingga akhirnya...
“Kak.. aku
masih bingung dengan perasaanku sendiri terhadap kakak.. kakak tau aku sangat
menyukai kakak, tapi tidak ada getaran di hatiku saat bersama kakak.. Kak..
maafin Dita, Dita tidak bermaksud untuk mengabaikan perasaan kakak.. Dita hanya
masih bingung....” kata-kata terakhirku mulai mengambang.
“Jadi begitu..
baiklah Dita, Kakak tidak akan memaksa, yang terpenting kakak udah tau perasaan
kamu yang sebenarnya terhadap kakak..” kalimat itu meluncur begitu saja bagai
burung yang terjatuh ke tanah terjerembab dan pasrah. Penuh kekecewaan dan
kepedihan.
Aku telah
melukai perasaan orang yang menyayangi dan mencintaiku. Beribu penyesalan
datang terlambat kepadaku. Jika saja aku bisa menghargai perasaan kak Radit
meskipun hanya sedikit, aku tidak akan merasa sebersalah ini. Aku terlalu jujur
kala itu.
Dua tahun
berlalu, aku sudah menginjak masa SMA. Masa dimana kita dapat dengan bebas
mengekspresikan kebebasan kita. Bebas berpikir dan menentukan arah tujuan hidup
kita. Asalkan masih sesuai aturan di sekeliling kita. Dan di SMA ini pula, aku
menemukan teman-teman baru yang tak kalah seru dengan teman-teman lamaku.
Mereka lebih beragam dan mempunyai karakternya masing-masing.
Setelah
kejadian kala itu, kak Radit mulai jarang menghubungiku. Mungkin dia sudah
menemukan seseorang yang dapat merawat hatinya karena ulahku. Aku juga selalu
berdoa untuknya agar lekas-lekas mencari seseorang yang layak untuknya. Layak
untuk menerima semua perasaan sayang dan cintanya.
Aku, aku masih
berharap takdir menjodohkanku dengan seseorang yang sangat aku cintai sejak
masa kecil dulu. Raka, dia adalah pengharapanku. Masuk SMA, aku sangat berharap
bisa satu sekolah dengannya. Namun hal itu tidak tersampaikan. Sebenarnya bisa
saja aku paksakan untuk satu sekolah dengannya, namun aku tak mau melawan
takdir. Biarkanlah takdir berjalan menjalankan tugasnya, dan manusia berharap
untuk keinginannya.
Perasaanku
mulai merambat hingga ke akar yang terdalam. Pengharapan-pengharapan yang mulai
bertambah bercabang. Kebahagiaan memang dapat di usahakan. Tetapi kesedihan
tidak dapat kita hindarkan.
Sabtu malam.
Aku pamit kepada orang tua ku untuk bermain bersama teman-temanku, awalnya
mereka tak mengijinkan, tetapi karena aku bilang bahwa disitu ada Raka, mereka
tenang. Karena secara tak sengaja pula teman-temanku kenal dan akrab dengan
kumpulan teman-teman Raka. Berbeda SMA, tetapi kami semua selalu meluangkan
waktu untuk hang-out bersama.
Masa SMP aku
jarang sekali melihatnya, karena berbeda sekolah dan juga aku belum terlalu
diberi kebebasan untuk bermain keluar. Dan kini, masa SMA aku ingin pergunakan
dengan baik-baik untuk memperjelas perasaanku terhadap Raka.
Malam hari di
Malioboro. Suasana tidak terlalu ramai seperti saat-saat musim liburan. Banyak
orang berlalulalang namun tidak bersemrawutan. Alunan musik yang dibawakan
musisi jalanan terdengar ramah dan menghibur. Dan kami lebih memilih tempat
makan lesehan untuk menjadi tempat bekumpul bersama. Satu-satu dari mereka
mulai memesan makanan, dan kebanyakan yang mereka pilih adalah burung dara
goreng yang terkenal gurih dan renyah itu. Aku, lebih memilih untuk memesan
ayam goreng saja.
Dia menatapku,
Raka menatapku. Sejenak darahku berhenti mengalir. Otak rasanya membeku dan
lidah pun terasa kelu. Senyumnya seperti panah yang ditembakan dewa cinta tepat
menuju dadaku. Dengan polosnya, aku hanya ikut menyunggingkan senyum.
Dan
sedetik kemudian dia tak menghiraukan
aku, dan lebih memilih berbincang dengan teman-temannya. Kami memang kenal,
namun tidak seakrab yang dibayangkan.
Jika saja aku
lebih berani sebagai seorang cewek, mungkin aku bisa mengenalnya lebih dekat
dan secara perlahan memasuki kehidupannya. Hanya saja kini aku berada disisi
terluar dari kehidupannya yang tak perlu dihiraukan atau pun dipedulikan.
Kehidupan
berjalan dan masa merubah waktu dan keadaan, namun tidak untuk perasaanku.
Meskipun aku berusaha untuk membuka hati terhadap seseorang lain diluar sana
yang mungkin lebih baik dari pada cinta masa kecilku, Raka. Tetap saja susah
dan mengganjal untuk dapat memasuki ruang yang telah terisi, yang setiap waktu
berjalan, terus saja bertambah isinya, namun hanya milik satu orang.
Kelas 3 SMA.
Suatu masa dimana kami siswa SMA untuk berjuang sampai titik darah penghabisan,
berjuang demi ilmu yang telah kami pelajari dari SD hingga SMA kini. Dan karena
pemerintah masih berpacu pada sistim Ujian Nasional, maka kami mati-matian
belajar demi sebuah kata ‘Lulus’.
Kembali kepada
Raka, aku masih memikirkannya. Disela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa baru,
dimana aku benar-benar digojlok para senior-senior di kampusku. Diserbu oleh
banyak mata kuliah baru yang tidak aku mengerti. Bayang senyum khas yang selalu
dia torehkan dari wajahnya selalu menjadi obat lelah dari setiap kegiatanku.
Kala itu sore,
dan senja selalu menjadi penghangat dari sebuah awal malam yang gelap.Tidak ada
angin, tidak ada hujan, Raka datang kerumah. Kukira hanya ingin berurusan
dengan orang tuaku, karena orang tua kami sangatlah dekat. Namun ternyata, Raka
meminta ku untuk keluar bermain bersama. Jangan tanya seberapa senang hatiku
saat itu, seperti komedi yang muncul tiba-tiba dan memberikan efek tawa yang luar biasa.
Kedai coffee.
Raka mengajakku kesana. Ruangan yang tidak terlalu ramai, hanya beberapa
segelintir orang yang duduk mengobrol. Aroma khas kopi menyeruak keseluruh
ruangan. Meski raut muka terkesan biasa, namun hatiku bertanya-tanya. Tidak
biasanya Raka mengajakku keluar berdua meskipun hanya untuk minum kopi. Kami
memilih tempat, salah sudut ruangan dengan sofa empuk yang nyaman. Dan seperti
biasa, aku memesan moccacino dengan whipped cream yang banyak. Raka, sudah bisa
kutebak.. dia menyukai rasa kopi original dengan gula tanpa campuran creamer.
1 menit, 2
menit, 5 menit aku menunggu, namun Raka tak memperhatikan rasa penasaranku yang
mulai memuncak sampai ke ubun-ubun. Dia hanya menikmati kopinya dan melihat
sekeliling seperti mencari seseorang, dan mengacuhkanku di depannya.
“Apa
teman-teman juga mau kesini?” tanyaku
“Ahh.. tidak..
Cuma aku mau....” kalimatnya tak terselesaikan
“Arum...!”
panggil Raka kepada seseorang yang sepertinya dia kenal. Cewek itu berjalan
anggun ke tempat dimana kami mengobrol. Feminim, dan modis. Itu kesan
pertamaku.
“Kenalin, dia
Arum adik kelasku dulu, Arum ini Dita”
sampai disini, perasaanku sudah tak tentu. Hatiku gelisah.
Aku menjabat
tangannya dengan senyum manis yang aku paksakan. Mereka terlihat mengobrol
sebentar dan terlihat asyik, hanya aku disini yang seperti orang asing.
“Dita,
sebenarnya aku mengajak kamu kesini untuk minta tolong sesuatu hal”
“Minta tolong?”
“Jadi begini,
sebenarnya Arum ini pacarku sejak 2 tahun yang lalu. Dan Karena kamu sangat
dekat dengan Mamaku, aku minta tolong untuk mengenalkan Arum kepada Mamaku, tolong ajari dia bagaimana menjadi seorang
wanita yang Mamaku sukai”
Sofa yang aku duduki rasanya seperti batu yang
terbuat dari es, beku dan dingin. Seolah waktu berhenti sejenak. Mataku, terasa
panas. Hatiku, jangan bayangkan lagi akan tetap utuh. Ingin sekali menghilang
ke dunia yang belum pernah sekalipun terjamah. Menduduki nya sendiri dan
memilikinya sendiri.
“Akan aku usahakan”
kata-kata itu keluar bagai petir yang menyambar si pemiliknya. Tidak ada lagi
kata-kata yang dapat aku ucapkan, semua tercekat dalam rongga kekecewaan.
Selanjutnya aku
tidak dapat berkata-kata maupun berbasa-basi lagi. Sudahlah, diam akan menyelamatkanku
dari perasaan yang tak menentu ini. Sepertinya aku mendapat karma dari
orang-orang yang menyayangi dan mencintaiku namun aku abaikan.
Pulang, aku
lebih memilih jalan sendiri. Menunggu seorang teman, itu alasan yang aku
katakan kepada Raka saat dia menawariku mengantar.
Mencintainya
adalah sebuah rahasia, menyayanginya adalah sebuah rahasia, bahkan
merindukannya pun adalah sebuah rahasia. Jika salah satu saja terungkap, bukan
1 atau 2, namun bahkan 3 hati yang akan terluka.
Biarlah Tuhan
yang menjadi saksi atas ketulusan dan kesetiaanku mencintainya. Cinta bukanlah
hal yang memaksakan untuk memilikinya,
namun bagaimana cara kita mencintainya dengan indah. Mencintainya hingga waktu
yang tak berbatas.
-End-