Monday, January 20, 2014

[Cerpen] Love In Silence






Sejujurnya aku ini cantik, hanya saja aku tak yakin kecantikannku dapat menarik perhatian orang yang kusukai. Bukannya aku narsis, namun aku lebih realistis. Banyak orang bilang aku imut, putih dan cantik, namun orang-orang yang menyebutku seperti itu tidak pernah ada yang aku sukai, kebanyakan mereka hanya orang-orang yang menaksirku dan aku masa bodoh kan.


Aku single. Cantik dan single. Bukannya aku tak pernah laku dan tidak ada yang mengajakku berkencan, namun aku terlalu pemilih. Sebenarnya bukan pemilih juga, karena hatiku sudah tersangkut dan terpaut pada satu orang, makanya aku tak pernah mau menerima ajakan-ajakan orang yang mengajaku berkencan.


Sebenarnya ini adalah sebuah rahasia. Rahasia antara Tuhan dan aku. Selain itu, orang lain bahkan teman dekatku tidak ada yang tau. Namun aku ingin menceritakannya disini. Aku merasa mungkin perasaanku akan bertambah lega, setelah semua rahasia ini tersibak.


Rahasia yang tidak ada artinya, bukan rahasia sesungguhnya. Namun sebuah perasaan yang lama yang aku pendam ntah berapa lama. Memendamnya hanya menjadi beban yang tidak akan hilang. Lebih baik terungkapkan dengan sengaja dari pada terkubur selamanya.


Cerita ini berawal semasa SD. Masa dimana kalian anak-anak bermain dengan lepas dengan seorang kawan main. Aku mengenalnya, sebut saja Raka. Kami bukan kawan main, bukan juga kawan sekolah. Namun orang tua kami saling mengenal, satu dua kali aku melihatnya bersama keluarganya bermain kerumahku. Dia manis, lucu dan ramah. Pertemuan kami tidak begitu istimewa, hanya perkenalan biasa yang tak menyibak makna.


Pertemuan ini semakin lama semakin berurutan, hingga sampai aku menginjak bangku kuliah. Raka tetaplah Raka. Ramah dan selalu menyimpan senyum yang menghangatkan. Sapaannya kepadaku begitu bersahaja. Namun kami terbatas teman.


Kelas 6 SD. Aku merasa jantung ku selalu berdebar-debar tak karuan. Aku kira aku mempunyai penyakit jantung, hingga aku sangat takut untuk tertidur pulas karena takut tidak akan terbangun lagi di pagi hari. Dan setelah aku sadari, penyebab nya adalah pertemuan ku dengan Raka. Ini tidak masuk akal, kenapa hanya melihat seseorang saja, jantung bisa kalap tak karuan. Aku mulai mencari tanda-tanda tidak wajar ini. Disetiap buku yang aku baca di perpustakaan tidak pernah aku temui jawaban itu. Diam-diam aku mengamati percakapan dan tingkah laku para artis di setiap sinetron atau film dengan akting yang mereka lakukan, setiap mereka merasa gugup ketika bertemu orang yang mereka sukai, merasa kesal hampir mati saat orang yang mereka sukai tidak memberi kabar atau malah lebih akrab dengan seseorang lainnya. Kesimpulan terakhir adalah aku jatuh cinta.


Aku jatuh cinta dengan seseorang yang tahu perasaanku pun tidak. Jadi bagaimana aku bisa tahu dia mencintaiku juga atau tidak? Aku pikir ini konyol. 


Kelas 2 SMP. Aku mulai tumbuh menjadi remaja. Mulai mempunyai banyak teman juga pergaulan. Tak lupa juga, mulai banyak yang mengajakku berkenalan untuk selanjutkan menjalin sebuah hubungan. Aku ingin merasakan sebuah cinta. Dicintai dan mencintai.


Teman-teman ku juga sudah banyak yang mulai bermain mata dengan lawan jenis. Mulai saling bertukar pandangan, bertukar surat-suratan, hingga berujung bertukar perasaan. Rasanya sangat menyenangkan. Aku ingin mencoba juga hal seperti itu.


Saat itu tak sengaja di perpustakaan aku bertemu kakak kelasku, yang ternyata adalah tetangga rumah yang tinggalnya agak jauh. Kami hanya bertukar pandang satu sama lain, dia tersenyum dan aku ikut mengulum senyum. Hal itu selalu berulang setiap kami berpapasan. Aku mulai berpikir, inikah awal sebuah cinta? Inikah awal sebuah cerita yang mereka bilang sangat membahagiakan?


Pagi hari saat aku membawa sepedaku untuk berangkat sekolah, mengayuhnya pelan dan menikmati udara yang segar dan sehat. Aku melihat kakak kelasku sudah berada di jalan depanku, terlihat sedang menunggu seseorang.


“Hey..” tiba-tiba dia membarengi di sampingku


“Hey juga..” jawabku dengan senyum polos


“Boleh kenalan? Namaku Radit..” katanya dibarengi senyum sumringah dari wajahnya.


“Aku Dita..” kataku sembari menatap wajahnya.


Dan itu adalah awal dari sebuah hubungan yang terjalin diantara kami. Hubungan kami semakin dekat dan aku sendiri tidak dapat menyebutnya sebagai apa. Dia adalah seseorang yang pengertian dan selalu dapat menjaga perasaanku juga selalu mengajariku hal-hal yang tidak bisa aku pelajari. Aku sangat nyaman bisa selalu berada disampingnya. Namun perasaan yang dulu pernah aku temui saat bersama Raka, kini tidak muncul saat aku bersama Radit. Aku nyaman, tapi jantungku tidak berdetak begitu cepat. Aku senang saat bertemu dengannya, namun tidak merasa gugup dan canggung. Aku marah padanya saat dia tidak ada kabar, namun tidak semarah hingga hampir mati.   


Kelas 3 SMP. Radit sudah lulus dan mulai memasuki jenjang SMA. Dia mulai tampak dewasa dan berpikiran panjang. Kami sudah jarang berangkat sekolah bersama lagi, selain karena kami sudah berbeda sekolah juga karena aku jarang bersepeda lagi, tetapi lebih memilih untuk diantar jemput. Kami janjian di sebuah taman yang tidak jauh dari rumah kami. Dia bertambah tampan dan keren, dengan kemeja dan jeans juga sepatu sneakers dia menghampiriku. Tersenyum dan menggandeng tanganku menuju bangku yang kosong.


“Bagaiman kabarmu? Lama ya kita tidak saling bertemu..”


“Kabarku baik kak, saat ini aku harus mulai giat belajar untuk bisa lulus ujian sebentar lagi..”


“Kamu pasti bisa, semua pasti akan berjalan dengan baik..”


“Karena kakak, aku selalu bisa, kakak yang mengajariku banyak hal.. tentang pelajaran dan hal yang lainnya.. iya.. semoga semua berjalan dengan baik..”


“Dita, kakak ingin memperjelas sesuatu..”


“Apa kak?”


“Kakak.. benar-benar tulus mencintaimu.. kakak ingin kita bisa saling terus bertemu..”

“Maksud kakak?”


“Dita, maukah kamu menjadi pacarku? Menjadi seseorang yang selalu kakak cintai dan dapat membagi perasaan bersama..”


“Kak...” lidahku kelu, aku tidak dapat menjawab apa-apa, aku bingung dengan perasaanku. Apakah aku benar-benar mencintai kak Radit? Tetapi tidak ada detak jantung yang hebat seperti yang dikatakan banyak orang.

“Kak.. aku bingung..”


“Dita.. kakak tidak akan memaksa, tanyalah hatimu dan dengarkanlah bisikan hatimu yang terdalam...” waktu terasa sangat lama sekali. Satu jam kami hanya terdiam dengan perasaan dan pikiran masing-masing hingga akhirnya...


“Kak.. aku masih bingung dengan perasaanku sendiri terhadap kakak.. kakak tau aku sangat menyukai kakak, tapi tidak ada getaran di hatiku saat bersama kakak.. Kak.. maafin Dita, Dita tidak bermaksud untuk mengabaikan perasaan kakak.. Dita hanya masih bingung....” kata-kata terakhirku mulai mengambang.


“Jadi begitu.. baiklah Dita, Kakak tidak akan memaksa, yang terpenting kakak udah tau perasaan kamu yang sebenarnya terhadap kakak..” kalimat itu meluncur begitu saja bagai burung yang terjatuh ke tanah terjerembab dan pasrah. Penuh kekecewaan dan kepedihan.


Aku telah melukai perasaan orang yang menyayangi dan mencintaiku. Beribu penyesalan datang terlambat kepadaku. Jika saja aku bisa menghargai perasaan kak Radit meskipun hanya sedikit, aku tidak akan merasa sebersalah ini. Aku terlalu jujur kala itu.


Dua tahun berlalu, aku sudah menginjak masa SMA. Masa dimana kita dapat dengan bebas mengekspresikan kebebasan kita. Bebas berpikir dan menentukan arah tujuan hidup kita. Asalkan masih sesuai aturan di sekeliling kita. Dan di SMA ini pula, aku menemukan teman-teman baru yang tak kalah seru dengan teman-teman lamaku. Mereka lebih beragam dan mempunyai karakternya masing-masing.


Setelah kejadian kala itu, kak Radit mulai jarang menghubungiku. Mungkin dia sudah menemukan seseorang yang dapat merawat hatinya karena ulahku. Aku juga selalu berdoa untuknya agar lekas-lekas mencari seseorang yang layak untuknya. Layak untuk menerima semua perasaan sayang dan cintanya.


Aku, aku masih berharap takdir menjodohkanku dengan seseorang yang sangat aku cintai sejak masa kecil dulu. Raka, dia adalah pengharapanku. Masuk SMA, aku sangat berharap bisa satu sekolah dengannya. Namun hal itu tidak tersampaikan. Sebenarnya bisa saja aku paksakan untuk satu sekolah dengannya, namun aku tak mau melawan takdir. Biarkanlah takdir berjalan menjalankan tugasnya, dan manusia berharap untuk keinginannya.

Perasaanku mulai merambat hingga ke akar yang terdalam. Pengharapan-pengharapan yang mulai bertambah bercabang. Kebahagiaan memang dapat di usahakan. Tetapi kesedihan tidak dapat kita hindarkan.


Sabtu malam. Aku pamit kepada orang tua ku untuk bermain bersama teman-temanku, awalnya mereka tak mengijinkan, tetapi karena aku bilang bahwa disitu ada Raka, mereka tenang. Karena secara tak sengaja pula teman-temanku kenal dan akrab dengan kumpulan teman-teman Raka. Berbeda SMA, tetapi kami semua selalu meluangkan waktu untuk hang-out bersama. 


Masa SMP aku jarang sekali melihatnya, karena berbeda sekolah dan juga aku belum terlalu diberi kebebasan untuk bermain keluar. Dan kini, masa SMA aku ingin pergunakan dengan baik-baik untuk memperjelas perasaanku terhadap Raka.


Malam hari di Malioboro. Suasana tidak terlalu ramai seperti saat-saat musim liburan. Banyak orang berlalulalang namun tidak bersemrawutan. Alunan musik yang dibawakan musisi jalanan terdengar ramah dan menghibur. Dan kami lebih memilih tempat makan lesehan untuk menjadi tempat bekumpul bersama. Satu-satu dari mereka mulai memesan makanan, dan kebanyakan yang mereka pilih adalah burung dara goreng yang terkenal gurih dan renyah itu. Aku, lebih memilih untuk memesan ayam goreng saja.  


Dia menatapku, Raka menatapku. Sejenak darahku berhenti mengalir. Otak rasanya membeku dan lidah pun terasa kelu. Senyumnya seperti panah yang ditembakan dewa cinta tepat menuju dadaku. Dengan polosnya, aku hanya ikut menyunggingkan senyum.

Dan sedetik  kemudian dia tak menghiraukan aku, dan lebih memilih berbincang dengan teman-temannya. Kami memang kenal, namun tidak seakrab yang dibayangkan.

Jika saja aku lebih berani sebagai seorang cewek, mungkin aku bisa mengenalnya lebih dekat dan secara perlahan memasuki kehidupannya. Hanya saja kini aku berada disisi terluar dari kehidupannya yang tak perlu dihiraukan atau pun dipedulikan.


Kehidupan berjalan dan masa merubah waktu dan keadaan, namun tidak untuk perasaanku. Meskipun aku berusaha untuk membuka hati terhadap seseorang lain diluar sana yang mungkin lebih baik dari pada cinta masa kecilku, Raka. Tetap saja susah dan mengganjal untuk dapat memasuki ruang yang telah terisi, yang setiap waktu berjalan, terus saja bertambah isinya, namun hanya milik satu orang.


Kelas 3 SMA. Suatu masa dimana kami siswa SMA untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, berjuang demi ilmu yang telah kami pelajari dari SD hingga SMA kini. Dan karena pemerintah masih berpacu pada sistim Ujian Nasional, maka kami mati-matian belajar demi sebuah kata ‘Lulus’.


Kembali kepada Raka, aku masih memikirkannya. Disela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa baru, dimana aku benar-benar digojlok para senior-senior di kampusku. Diserbu oleh banyak mata kuliah baru yang tidak aku mengerti. Bayang senyum khas yang selalu dia torehkan dari wajahnya selalu menjadi obat lelah dari setiap kegiatanku.

Kala itu sore, dan senja selalu menjadi penghangat dari sebuah awal malam yang gelap.Tidak ada angin, tidak ada hujan, Raka datang kerumah. Kukira hanya ingin berurusan dengan orang tuaku, karena orang tua kami sangatlah dekat. Namun ternyata, Raka meminta ku untuk keluar bermain bersama. Jangan tanya seberapa senang hatiku saat itu, seperti komedi yang muncul tiba-tiba dan memberikan efek  tawa yang luar biasa.


Kedai coffee. Raka mengajakku kesana. Ruangan yang tidak terlalu ramai, hanya beberapa segelintir orang yang duduk mengobrol. Aroma khas kopi menyeruak keseluruh ruangan. Meski raut muka terkesan biasa, namun hatiku bertanya-tanya. Tidak biasanya Raka mengajakku keluar berdua meskipun hanya untuk minum kopi. Kami memilih tempat, salah sudut ruangan dengan sofa empuk yang nyaman. Dan seperti biasa, aku memesan moccacino dengan whipped cream yang banyak. Raka, sudah bisa kutebak.. dia menyukai rasa kopi original dengan gula tanpa campuran creamer.


1 menit, 2 menit, 5 menit aku menunggu, namun Raka tak memperhatikan rasa penasaranku yang mulai memuncak sampai ke ubun-ubun. Dia hanya menikmati kopinya dan melihat sekeliling seperti mencari seseorang, dan mengacuhkanku di depannya.


“Apa teman-teman juga mau kesini?” tanyaku


“Ahh.. tidak.. Cuma aku mau....” kalimatnya tak terselesaikan


“Arum...!” panggil Raka kepada seseorang yang sepertinya dia kenal. Cewek itu berjalan anggun ke tempat dimana kami mengobrol. Feminim, dan modis. Itu kesan pertamaku.


“Kenalin, dia Arum adik kelasku dulu, Arum ini Dita”  sampai disini, perasaanku sudah tak tentu. Hatiku gelisah.


Aku menjabat tangannya dengan senyum manis yang aku paksakan. Mereka terlihat mengobrol sebentar dan terlihat asyik, hanya aku disini yang seperti orang asing.


“Dita, sebenarnya aku mengajak kamu kesini untuk minta tolong sesuatu hal”


“Minta tolong?”


“Jadi begini, sebenarnya Arum ini pacarku sejak 2 tahun yang lalu. Dan Karena kamu sangat dekat dengan Mamaku, aku minta tolong untuk mengenalkan Arum kepada Mamaku,  tolong ajari dia bagaimana menjadi seorang wanita yang Mamaku sukai”

 Sofa yang aku duduki rasanya seperti batu yang terbuat dari es, beku dan dingin. Seolah waktu berhenti sejenak. Mataku, terasa panas. Hatiku, jangan bayangkan lagi akan tetap utuh. Ingin sekali menghilang ke dunia yang belum pernah sekalipun terjamah. Menduduki nya sendiri dan memilikinya sendiri.


“Akan aku usahakan” kata-kata itu keluar bagai petir yang menyambar si pemiliknya. Tidak ada lagi kata-kata yang dapat aku ucapkan, semua tercekat dalam rongga kekecewaan.


Selanjutnya aku tidak dapat berkata-kata maupun berbasa-basi lagi. Sudahlah, diam akan menyelamatkanku dari perasaan yang tak menentu ini. Sepertinya aku mendapat karma dari orang-orang yang menyayangi dan mencintaiku namun aku abaikan.

Pulang, aku lebih memilih jalan sendiri. Menunggu seorang teman, itu alasan yang aku katakan kepada Raka saat dia menawariku mengantar.


Mencintainya adalah sebuah rahasia, menyayanginya adalah sebuah rahasia, bahkan merindukannya pun adalah sebuah rahasia. Jika salah satu saja terungkap, bukan 1 atau 2, namun bahkan 3 hati yang akan terluka.


Biarlah Tuhan yang menjadi saksi atas ketulusan dan kesetiaanku mencintainya. Cinta bukanlah hal  yang memaksakan untuk memilikinya, namun bagaimana cara kita mencintainya dengan indah. Mencintainya hingga waktu yang tak berbatas.






-End-


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Translate

Blog Archive

Teman